Gubernur Jambi saat itu Zulkifli Nurdin, menjadi resah. Ia sadar luas kawasan hutan di wilayahnya kurang dari 30% luas total. Jika ia tetap bersikukuh mengembangkan perkebunan sawit secara masif maka ancaman terhadap lingkungan dan hutan akan semakin besar. Sebuah dilema besar menghadang orang nomor satu di Jambi ini. Apakah akan terus memacu perkebunan sawit untuk kepentingan ekonomis yang sangat prospektif tetapi dengan konsekuensi yang harus dibayar mahal, kerusakan ekologi yang sangat besar.
Cerita Panjang Perkebunan Sawit di Indonesia
Sejarah perkebunan sawit di Indonesia merupakan sejarah yang panjang. Tanaman yang awalnya didatangkan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles itu kini menjadi komoditas andalan Indonesia, khususnya wilayah Sumatera. Pohon asal Afrika Selatan itu dibawa ke Kebun Raya Bogor tahun 1848. Pohon palma itu di kemudian dikenal luas dengan nama kelapa sawit (Elaeis guineensis). Dari biji buah tanaman sawit itu kemudian pada tahun 1911 di pantai timur Sumatera Utara dikembangkan kebun sawit pertama di Sumatera.
Pada tahun 1915 pengusaha asal Inggris telah mengusahakan perkebunan-perkebunan sawit berskala kecil di kawasan tersebut, mereka membuka sebuah perkebunan sawit pertama kali seluas 2.715 hektar. Perkebunan ini kemudian makin berkembang menjadi lebih dari 100.000 hektar pada tahun 1939. Pada era tahun tersebut, kehebatan sawit Sumatera Utara telah mulai terdengar hingga ke manca negara, hingga banyak pengusaha asal Inggris yang datang ke Sumatera dan tertarik untuk membudidayakan sawit. Pada tahun 1968 luasan kebun kelapa sawit semakin bertambah besar 119.600 hektar. Pada tahun 1978 luasan itu berkembang menjadi 250.116 hektar. Kemudian, sejak tahun 1979 hingga tahun 1997 laju pertambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 150.000 hektar pertahun. Saat ini, total luas areal sawit di Indonesia telah jauh berkembang hingga lebih dari empat juta hektar.
Hal itu, tentu saja mempengaruhi tingkat produksi yang juga terus berkembang. Pada periode tahun 1979 hingga tahun 1991 laju produksi rata-rata per tahun mencapai sekitar 230.000 ton. Sementara itu, laju pertumbuhan pada periode tahun 1992 hingga 1997 meningkat hingga 420.000 ton per tahun. Pada masa itu produksi sawit Indonesia mencapai lebih dari 5 juta ton per tahun. Berdasarkan data dari sebuah simposium, diketahui bahwa kualitas dan perdagangan produksi minyak sawit mentah yang diadakan di Kuala Lumpur tahun 1968, tercatat produksi minyak sawit mentah Indonesia baru mencapai 190.000 ton, sedangkan Malaysia telah mampu memproduksi sekitar 370.000 ton minyak sawit mentah.
Lalu 33 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2001, produksi minyak sawit Malaysia melonjak drastis menjadi 11 juta ton, sedangkan Indonesia juga meningkat menjadi 8 juta ton lebih. Sekitar 5 juta ton dari produksi CPO Indonesia itu di lepar ke pasar ekspor, yakni ke India, Cina, dan Thailand. Dari total produksi nasional yang mencapai 8 juta ton CPO tersebut, Sumatera memiliki kontribusi produksi lebih dari 6,9 juta ton CPO per tahun. Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu penghasil utama komoditi kelapa sawit dengan areal perkebunan di Sumatera Utara tahun 2002, seluas lebih dari 650 ribu hektar, total produksi mencapai 2,6 juta ton.
Pasar Internasional Minyak Nabati Dunia dan Prospek CPO
Konsumsi minyak nabati dunia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun. Konsumsi minyak nabati dunia pada tahun 1995 masih sekitar 92,4 juta ton, tahun 1997 mencapai 100,3 juta ton, dan pada tahun 2000 telah mencapai 113,8 juta ton. Di tahun 2002 konsumsi dunia ini bahkan telah menginjak angka 121,3 juta ton. Dari 17 jenis minyak nabati yang tercatat, ternyata hanya 4 jenis yang mendominasi yaiti; minyak kedelai, minyak sawit, minyak lobak dan minyak bunga matahari.
Hak Cipta © 2007 dimiliki oleh Yayasan Pembangunan Berkelanjutan